
SAKURAINA, RIAU- Lomba pacu jalur Kuantan Singingi, yang selama ini dikenal sebagai tradisi lokal masyarakat Riau, mendadak menjadi pusat perhatian publik. Lantaran video seorang bocah bernama Rayyan Arkan Dikha (11), yang menari penuh karisma di ujung haluan jalur viral dan menuai banyak pujian.
Dalam hitungan jam, video itu disebar ribuan kali, bahkan gerakan tari Dikha ditiru oleh maskot resmi klub sepak bola AC Milan. Tak berhenti di situ, pembalap andalan Ducati Lenovo, Marc Marquez turut meramaikan tren ini sebagai bentuk selebrasinya kala sukses meraih podium utama pada MotoGP Jerman 2025.
Koreografi atau tarian Dikha yang karismatik tersebut kemudian erat dikaitkan dengan istilah aura farming. Memangnya aura farming itu apa?
Istilah Aura Farming
Istilah aura farming merujuk pada usaha untuk membangun kesan penuh karisma atau “aura” pada seseorang. Dalam konteks media sosial, istilah ini digunakan untuk menyebut usaha atau cara seseorang agar terlihat sangat percaya diri, memikat, dan memiliki daya tarik visual yang kuat, baik secara natural maupun disengaja.
Namun, menurut dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) Yudha Wirawanda, S.I.Kom., M.A., Dikha justru memancarkan aura secara genuine atau asli tanpa dibuat-buat.
“Dia tidak sedang tampil untuk media sosial, tidak tahu siapa audiensnya. Justru karena kealamian itulah auranya bisa terasa kuat,” kata Yudha saat ditemui di ruang kerjanya di Fakultas Komunikasi dan Informatika UMS, Jumat (18/7/2025) siang.
Pacu Jalur Jadi Viral
Tapi siapa sangka, di balik viralitas itu, budaya pacu jalur tanah Riau yang berusia ratusan tahun ini menjadi mendunia. Kok bisa?
Pacu jalur adalah lomba mendayung perahu panjang yang bisa diikuti hingga 60 orang. Dalam bahasa lokal, “jalur” berarti perahu. Merujuk Kompas.id, tradisi ini menjadi kebanggaan masyarakat Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing), Riau, dan digelar rutin setiap tahun di 12 kecamatan sepanjang Sungai Kuantan. Puncaknya berlangsung di Tepian Narosa dan Teluk Kuantan pada 20-25 Agustus, berdekatan dengan Hari Kemerdekaan.
Setiap desa di Kuansing biasanya memiliki jalur sendiri. Bahkan, jika jumlah penduduknya banyak, bisa punya dua atau tiga jalur. Jalur dibuat secara gotong royong dari kayu utuh, seperti meranti, mersawa, banio, atau kuras. “Kalau ada desa yang tak punya jalur, sampai muncul anekdot: apa tidak ada laki-laki di desa itu?” ujar Mahviyen Trikon Putra, pengamat sekaligus pelaku pacu jalur, Jumat (18/7/2025).
Namun yang membuat pacu jalur Kuantan Singingi tahun ini melampaui sekadar lomba tradisi adalah sosok togak luan, anak laki-laki yang berdiri di haluan jalur sambil menari. Bocah-bocah itu bukan penari profesional. Gerakan mereka tak diajarkan secara baku. Mereka hanya anak-anak desa yang dipilih karena keberanian, keseimbangan tubuh, dan ekspresinya yang memukau.
Dikha adalah satu dari mereka. Tapi ekspresinya yang luar biasa membuatnya tampil berbeda. Ia menari dengan tenang, ekspresif, dan seperti tak terusik meski di atas perahu yang melaju kencang. Inilah yang kemudian membuat netizen menyebutnya sebagai simbol dari aura farming.
Yudha fasih menjelaskan, ruang digital, khususnya media sosial seperti TikTok, adalah ruang budaya baru. Di sana, ekspresi ditafsirkan bebas oleh audiens dari latar belakang yang berbeda.
Sementara dosen seni dan koreografer Epi Martison menyatakan gerakan togak luan adalah puncak dari harmoni, keberanian, dan keindahan. Ia menyebut gerakan itu sekilas sederhana, namun sejatinya merupakan ekspresi jiwa yang dituntun oleh keseimbangan dan irama. Jika tempo gerakannya meleset sepersekian detik saja, laju perahu bisa kacau.
Koreografi yang dilakukan togak luan tidak diajarkan secara khusus, melainkan muncul dari kebiasaan dan spontanitas. Dikha, yang menari dengan penuh gaya, tak menyangka gerakannya akan ditafsirkan sebagai simbol aura farming oleh publik. “Itulah kekuatan ekspresi nonverbal di ruang digital. Ia bisa menembus batas bahasa dan budaya,” tambah Yudha.
Ruang Siber dan Tafsir Budaya
Yudha menyebut fenomena ini sebagai hasil interaksi budaya global yang terjadi di ruang siber. “Netizen dari berbagai negara bisa menafsirkan konten dengan kacamata budaya mereka. Apa yang dikira biasa di Kuantan Singingi, bisa terlihat magis bagi audiens internasional. Ini bukti bahwa budaya lokal memiliki daya tarik universal jika dikelola dengan cerdas,” tekan pakar kajian budaya dan media itu.
Namun Yudha mengingatkan bahwa viralitas semacam ini tidak bisa direkayasa. Ia menilai promosi budaya tidak cukup hanya dengan menonjolkan hal-hal unik secara artifisial. Menurutnya, keaslian, spontanitas, dan ekspresi yang alami justru menjadi kunci utama. Ia mencontohkan Dikha yang menjadi viral karena tampil secara natural dan tidak dibuat-buat.
Pemerintah daerah bahkan menyambut fenomena ini dengan tangan terbuka. Kepala Dinas Pariwisata Riau, Roni Rakhmat, menyebut ini sebagai momentum emas untuk mengangkat potensi wisata daerah. “Viralnya tarian bocah pacu jalur membuktikan kearifan lokal di Riau punya daya saing global,” katanya.
Yudha menyarankan viralitas yang muncul secara organik dari masyarakat sebaiknya tidak langsung diformalisasi begitu saja oleh lembaga atau institusi tanpa pertimbangan matang. Ketika konten yang awalnya dianggap jujur dan spontan itu kemudian dibingkai dalam kepentingan ekonomi atau politik, respons dari masyarakat bisa berbeda.
Potensi Ekspansi Budaya Lokal
Meskipun benar adanya jika fenomena seperti ini dapat dimanfaatkan untuk strategi promosi budaya. Hanya saja prosesnya tidak boleh hanya mengandalkan sisi keunikan atau viral semata.
Menjaga keaslian ekspresi budaya menjadi hal penting agar tradisi seperti pacu jalur tidak sekadar diperlakukan sebagai komoditas dadakan. Sebaliknya, dukungan terhadap budaya lokal sebaiknya dilakukan secara berkelanjutan dan menyeluruh.
“Pemerintah, dalam hal ini, perlu menyusun strategi komunikasi budaya yang lebih terarah, bukan sekadar riding the wave atau ikut tren sesaat,” kata dosen mata kuliah Media Baru itu.
Langkah awal seperti mengidentifikasi potensi budaya yang otentik atau punya daya tarik khas perlu digerakkan pemerintah pusat maupun daerah menurut Yudha. Potensi ini selanjutnya perlu diberdayakan serius, termasuk dalam hal dana, infrastruktur, dan pelatihan SDM agar pelaku budaya dan masyarakat lokal bisa mandiri.
Di sisi lain, perlu dilakukan riset pola selera digital audiens di ruang siber agar promosi tidak kontraproduktif. Adapun Yudha berharap adanya kolaborasi lintas sektor agar strategi komunikasi budaya tidak berjalan sendiri-sendiri. Pemerintah daerah, komunitas seni, pelaku pariwisata, hingga masyarakat lokal harus berada dalam visi yang sama dan bergerak sinergis.
“Agar ketika momen viral positif serupa terjadi lagi, semua sudah dalam posisi siap tampil dan memberi kesan positif,” tandasnya.(DIK)