News

Dua Sisi Jelang Kedatangan Rafale di Indonesia yang Membuat Pentagon Mudahkan Filipina Peroleh F-16 Viper

SAKURAINA, JAKARTA-Momen kedatangan Rafale di Indonesia yang akan dimulai pada tahun 2026 menjadikan dua sisi bagi Amerika Serikat.

Mudahnya Kementerian Pertahanan Amerika Serikat (Pentagon) menyuplai F-16 Viper ke Filipina diyakini akan membantu Indonesia untuk menjaga wilayah maritim NKRI.

Akan tetapi di sisi lain, Filipina dirasa perlu untuk memperoleh F-16 Viper karena kedatangan Rafale di Indonesia bisa berdampak pada hegemoni Amerika Serikat di pasar alutsista global khususnya dari sektor kedirgantaraan.

Dari laman Defence Security Asia melalui artikel berjudul “In Signal to Beijing, US Clears Massive F-16 Fighter Sale to Philippines”, Pentagon mempermudah Filipina untuk memperoleh 20 unit F-16 Viper dengan nilai kontrak 5,58 miliar dolar AS karena situasi di kawasan Indo-Pasifik yang kian mendesak.

Negeri Paman Sam menilai bahwa ancaman China terutama di sekitar Laut Natuna Utara sudah semakin membahayakan.

Bahkan Negeri Tirai Bambu itu kerap melakukan manuver ekstrem dengan China Coast Guard (CCG) andalannya hingga membuat Manila meradang.

Sehingga Washington merasa tak ada alasan untuk tak mempermudah mitranya di Asia Tenggara itu karena memiliki tujuan yang sama yakni membendung pengaruh Beijing di Indo-Pasifik.

Termasuk disetujuinya rencana akuisisi F-16 Viper dalam rangka memperkuat Angkatan Udara Filipina (PAF).

Dan ketika Joe Biden masih menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat, penggunaan rudal BrahMos yang diproduksi India bersama Rusia juga diizinkan tanpa adanya sanksi The Countering America’s Adversaries Through Sanctions Act (CAATSA).

Secara rinci, Filipina mengincar 20 unit F-16 Viper dengan dua sub-varian berbeda.

Enam belas unit di antaranya merupakan sub-varian reguler dengan kursi ganda.

Sementara empat unit sisanya adalah pengembangan lanjut (advanced version) dari versi reguler yang kemampuannya dinilai setara dengan F-35.

Keputusan Filipina di bawah pemerintahan yang baru untuk membeli F-16 Viper merupakan sebuah pencapaian tak terduga.

Pasalnya saat Rodrigo Duterte masih berkuasa, rencana akuisisi pesawat ini sempat dianulir karena kurangnya APBN.

Apalagi di tahun 2021 saat Amerika Serikat sudah memberikan “lampu hijau”, Filipina masih berkutat pada pemulihan Covid-19 sehingga harus berhati-hati dalam berinvestasi di bidang pertahanan.

Namun jika memperhatikan manfaatnya, ini jauh lebih besar dibandingkan dengan anggaran yang harus Manila gelontorkan.

Sebab F-16 Viper sudah dilengkapi dengan radar active electronically scanned array (AESA) dari Northrop Grumman yakni AN/APG-83.

Komponen tersebut sangat berguna ketika pesawat beroperasi di tengah cuaca buruk terkhusus pada malam hari, sehingga kesadaran situasional pilot dapat ditingkatkan.

Keberadaan radar AESA AN/APG-83 pula juga menjadikan F-16 Viper kerap dianggap setara dengan F-35 namun dengan harga per unit yang tampak sedikit lebih murah.

Apabila dikaitkan dengan kedatangan Rafale di Indonesia yang dimulai sejak tahun depan, F-16 Viper milik Filipina bakal menjadi tandem udara yang klop untuk mengantisipasi ancaman China di Laut Natuna Utara.

Ini penting lantaran Jakarta maupun Manila sama-sama memiliki hak atas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di kawasan tersebut pada titik koordinat yang berbeda.

Karena itulah sebagaimana dikutip dari artikel berjudul “KSAU dan Menhan bahas rencana kedatangan pesawat tempur Rafale” yang dimuat oleh laman Antaranews.com edisi 8 Januari 2025, Rafale milik TNI AU rencananya bakal ditugaskan di dua kota yang dekat dengan kawasan strategis maritim Indonesia yakni Pekanbaru dan Pontianak.

Pekanbaru dipilih karena berkaitan dengan pengamanan Selat Malaka sebagai jalur perdagangan strategis internasional di kawasan Indo-Pasifik dan rentan untuk dilalui berbagai kapal asing secara ilegal.

Sedangkan Pontianak merupakan kota yang letaknya dekat dengan Laut Natuna Utara sebagai jantung dari kedaulatan NKRI.

Untuk itu, berbagai persiapan terus dilakukan baik dari segi infrastruktur maupun sumber daya manusia (SDM).

Beberapa prajurit dari TNI AU pun dikirim ke Prancis tak hanya agar mahir mengoperasikan Rafale namun juga bisa merawat dengan sebaik-baiknya.

Namun apabila ditinjau dari sisi ekonomi, kedatangan Rafale di Indonesia juga bisa mengancam dominasi Amerika Serikat dalam percaturan industri dirgantara global.

Sebab PT Dirgantara Indonesia (PTDI) turut mengincar benefit transfer teknologi yang menjadi pijakan awal untuk memperoleh lisensi produksi Rafale di dalam negeri.

Sama halnya dengan TNI AU, PTDI juga turut mengirimkan teknisi pilihannya ke Prancis demi mempelajari karakteristik pesawat buatan Dassault Aviation itu sehingga bisa merawatnya sendiri bahkan merakitnya.

“Sudah dikirim ke sana (Perancis),” kata Direktur Utama PTDI Gita Amperiawan dikutip dari laman Antaranews.com edisi 26 Februari 2025 dalam artikelnya yang berjudul “PT DI kirim teknisi ke Prancis untuk pelajari pesawat tempur Rafale”.

Jika lisensi produksi Rafale bisa PTDI genggam, Dassault Aviation dapat memperluas rantai pasoknya tanpa harus melakukan hal serupa Lockheed Martin yang mendirikan kantor cabang dan menyiapkan sendiri SDM untuk menopang operasionalnya di berbagai wilayah.

Sehingga ini bisa menjadi simbiosis mutualisme baik bagi produsen utama maupun mitra yang memperoleh lisensi.

Bahkan bagi calon customer di Asia Tenggara dan sekitarnya, pembelian Rafale bisa dilakukan dengan harga yang lebih hemat melalui perantara PTDI karena ongkos kirim dapat dipangkas.

Apa Langkah Antisipasi Amerika Serikat?

Membaca adanya potensi peningkatan penjualan Rafale dengan skema kemitraan bersama PTDI, Amerika Serikat rupanya tak ingin tinggal diam.

Karena itulah, Donald Trump bermanuver untuk memasarkan F-35 dengan berbagai cara termasuk yang tidak terlihat sekalipun.

Salah satunya melalui penjualan 20 unit F-16 Viper ke Filipina, yang diyakini bisa mengikat relasi negara tetangga Indonesia ini dengan Lockheed Martin.

Apalagi rencana akuisisi tersebut juga dimaksudkan untuk mencegah laju pertumbuhan pangsa pasar KF-21 Boramae buatan Korea Aerospace Industries (KAI).

Cara serupa juga dilakukan terhadap India demi “mengganggu” rencana Rusia menjual Su-57.

Bahkan manuver Trump memasarkan F-35 secara langsung kepada Perdana Menteri India Narendra Modi menuai reaksi keras dari kubu oposisi di Negeri Bollywood itu.

Pihak oposisi beralasan bahwa pesawat tersebut dianggap tak layak untuk dibeli mengacu pada pernyataan Elon Musk yang menghebohkan di bulan November 2024 lalu.

Tidak hanya dari kalangan oposisi, seorang perwira Angkatan Udara India (IAF) yang tak disebutkan namanya menilai bahwa akuisisi F-35 tidak akan membawa manfaat apapun bagi New Delhi.

Alih-alih Lockheed Martin mau memberikan transfer teknologi yang berguna bagi kemajuan industri dirgantara setempat, membeli F-35 justru hanya akan memboroskan APBN.

“F-35 bukanlah pembelian terbaik bagi IAF meskipun memiliki daya mematikan, serba guna, dan kemampuan siluman, karena sangat mahal untuk dibeli di tengah anggaran yang menyusut dan sangat mahal untuk dioperasikan,” tutur perwira tersebut dikutip dari laman The Wire melalui artikel berjudul “Trump’s F-35 Push: If Modi Signs Up, Experts See It as a Costly ‘Political’ Buy, Not Practical Operationally” yang dimuat pada 15 Februari 2025.

Penjelasan dari perwakilan IAF ini mengindikasikan bahwa Trump sangat ingin agar Filipina mau membeli F-35.

Hanya saja, Amerika Serikat memilih pendekatan yang terkesan halus agar manuver pemasarannya sulit untuk terdeteksi.(ICN)

 

What is your reaction?

Excited
0
Happy
0
In Love
0
Not Sure
0
Silly
0

You may also like

Leave a reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

More in:News