Corporate

Fuji TV Bertaruh pada Anime untuk Selamat dari Krisis Terburuknya

SAKURAINA, TOKYO- Fuji TV, salah satu jaringan televisi terbesar di Jepang, tengah berada di titik terendah dalam sejarah panjangnya. Setelah bertahun-tahun menghadapi kritik karena keputusan tayangan yang kontroversial—mulai dari menampilkan hitung mundur eksekusi sandera ISIS, menayangkan Titanic dua minggu berturut-turut tak lama setelah tragedi kapal selam yang meledak dan menewaskan semua orang di dalamnya, hingga insiden membocorkan lokasi rumah Shohei Ohtani—skandal yang mencuat selama setahun terakhir akhirnya benar-benar mengguncang fondasi jaringan ini.

Puncaknya adalah tuduhan pelecehan seksual sistematis yang melibatkan mantan anggota SMAP sekaligus presenter kondang, Masahiro Nakai. Tuduhan ini tak hanya mengguncang publik, tapi juga memicu eksodus sponsor dari seluruh program Fuji TV, menciptakan krisis finansial dan reputasi yang sangat serius. Beberapa eksekutif puncak mengundurkan diri, dan kepercayaan masyarakat terhadap jaringan ini anjlok. Dalam kekacauan tersebut, Fuji Media Holdings menunjuk Kenji Shimizu sebagai presiden baru Fuji TV.

Shimizu bukan sosok baru di industri hiburan Jepang. Ia dikenal sebagai produser di balik anime legendaris seperti Dragon Ball, Yu Yu Hakusho, dan Assassination Classroom. Namun kini, tantangan yang dihadapinya jauh lebih besar dari sekadar menyukseskan sebuah seri anime. Ia ditunjuk sebagai presiden baru Fuji TV dengan misi mereformasi struktur dan budaya kerja yang sudah lama dibiarkan bermasalah. Dan salah satu langkah terbesarnya adalah mengalokasikan setengah dari total anggaran reformasi Fuji Media Holdings—sekitar 125 miliar yen—untuk produksi konten.

Meski istilah “produksi konten” terdengar luas, banyak pihak menduga bahwa sebagian besar dana tersebut akan difokuskan pada anime. Alasan di balik langkah ini cukup masuk akal. Berbeda dengan variety show atau program live-action lainnya yang sangat bergantung pada iklan domestik, anime memiliki potensi pendapatan yang lebih stabil dan internasional. Anime dapat diekspor, dilisensikan, dijual dalam bentuk merchandise, dan—yang terpenting—tidak melibatkan aktor manusia yang berisiko terlibat dalam skandal.

Langkah ini tentu saja menimbulkan perdebatan. Sebagian melihatnya sebagai pilihan rasional yang mungkin menjadi penyelamat terakhir bagi Fuji TV. Sebagian lainnya menuduh Shimizu terlalu mengandalkan latar belakangnya sebagai orang anime dan mengabaikan potensi program live-action yang selama ini menjadi tulang punggung TV Jepang. Beberapa suara skeptis juga muncul dari penggemar acara variety show yang khawatir program favorit mereka akan terpinggirkan.

Di luar itu, Shimizu juga menghadapi tekanan dari Dalton Investments, perusahaan investasi asal Amerika Serikat yang memegang sekitar 7% saham Fuji TV. Dalton mendesak reformasi menyeluruh dengan mengajukan 12 nama baru untuk duduk di dewan direksi. Usulan tersebut ditolak oleh Fuji Media Holdings, yang memicu proxy fight demi mengajak pemegang saham lainnya untuk berpihak pada mereka.

Namun dalam Rapat Umum Tahunan Fuji Media Holdings, mayoritas pemegang saham menolak usulan Dalton dan secara resmi membuka jalan bagi Shimizu untuk melanjutkan reformasinya. Bagi banyak pihak, ini menandai awal dari fase baru Fuji TV—fase yang bertumpu pada harapan bahwa anime bukan hanya sebuah bentuk hiburan, tapi juga strategi penyelamatan.

Apakah strategi ini akan berhasil mengangkat kembali citra Fuji TV? Hanya waktu yang bisa menjawab. Tapi satu hal yang pasti, dalam masa krisis besar yang belum pernah dialami sebelumnya, Fuji TV kini menaruh harapan terakhirnya pada dunia animasi—dunia yang tak tumbuh tua, tak mengenal skandal, dan selalu mampu membuat penontonnya percaya kembali pada kekuatan cerita.(DIK)

What is your reaction?

Excited
0
Happy
0
In Love
0
Not Sure
0
Silly
0

You may also like

Leave a reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

More in:Corporate