
SAKURAINA, KYOTO- Dalam beberapa bulan terakhir, peta politik Jepang mulai menunjukkan pergeseran yang mencolok. Di tengah meningkatnya tekanan ekonomi dan ketidakpuasan terhadap partai-partai besar, partai kecil bernama Sanseito mencuri perhatian publik. Dikenal dengan retorika populis dan slogan “Japanese First”, partai ini secara aktif mengangkat isu-isu seputar keberadaan warga negara asing dan penggunaan dana pajak publik, terutama yang berkaitan dengan jaminan sosial dan pendidikan bagi imigran.
Sanseito mulai menuai kemenangan dalam sejumlah pemilihan lokal. Dalam pemilihan majelis metropolitan Tokyo yang baru saja berlangsung, mereka berhasil meraih tiga kursi. Kemenangan ini menyusul perolehan suara terbanyak di sejumlah daerah seperti Nishio di Prefektur Aichi, Awara di Prefektur Fukui, dan Amagasaki di Prefektur Hyogo. Kini, dengan pemilihan Majelis Tinggi yang akan digelar pada 20 Juli, Sanseito bersiap untuk melangkah ke panggung nasional dengan ambisi yang lebih besar.
Kampanye partai ini dibangun di atas retorika yang tegas dan langsung. Sekretaris Jenderal Sohei Kamiya, dalam berbagai pidatonya, secara terbuka menyampaikan kekhawatiran tentang perilaku warga negara asing yang dianggap memanfaatkan celah hukum dan sumber daya negara. Dalam sebuah pidato di Stasiun Kyodo, Tokyo, ia menyatakan bahwa “orang asing cenderung memalsukan apa saja dan pandai mencari celah hukum.” Meskipun tidak didukung data konkret, pernyataan semacam itu tetap mendapatkan respons positif dari sebagian masyarakat yang merasa khawatir atau tidak puas dengan situasi saat ini.
Kamiya secara eksplisit membantah bahwa partainya mendorong xenofobia. Dalam konferensi pers pada 22 Juni, ia menegaskan bahwa Sanseito tidak menolak kehadiran orang asing, melainkan menuntut adanya aturan yang lebih jelas dan tegas mengenai keberadaan mereka di Jepang. Ia mengklaim bahwa banyak warga negara merasa frustrasi karena dana publik terlalu banyak dialokasikan untuk kebutuhan orang asing, sementara kebutuhan masyarakat lokal justru diabaikan.
Fenomena Sanseito tidak lepas dari dukungan masyarakat biasa yang merasa kehilangan suara dalam politik arus utama. Mereka bukan kelompok garis keras, tetapi warga yang bergulat dengan masalah sehari-hari—utang pendidikan, keterbatasan fasilitas publik, dan ketidakpastian ekonomi. Seorang ibu rumah tangga yang hadir dalam kampanye Sanseito di Yokohama, misalnya, menyatakan bahwa ia masih membayar cicilan pinjaman pendidikan, sementara pemerintah justru memberikan dukungan penuh bagi mahasiswa asing. Narasi semacam ini, meskipun tidak selalu didukung data resmi, berhasil menyentuh keresahan banyak orang.
Salah satu faktor kunci yang mendongkrak popularitas Sanseito adalah pendekatan media sosial mereka. Sebagian besar pendukung partai ini pertama kali mengenal Sanseito lewat YouTube, X (Twitter), atau TikTok. Konten video mereka menyajikan isu-isu dengan gaya emosional dan lugas, sering kali menyederhanakan masalah kompleks menjadi narasi yang mudah dicerna dan memicu keterlibatan emosional. Banyak pendukung mengaku awalnya tidak tertarik dengan politik, namun mulai mengikuti perkembangan setelah menonton video Sanseito yang membahas keamanan pangan, subsidi untuk warga asing, atau kritik terhadap kebijakan vaksinasi.
Kritik terhadap partai ini terus bermunculan, terutama dari kalangan akademisi dan pengamat politik. Penulis Tsunehira Furuya memperingatkan bahwa pendekatan Sanseito yang menekankan ketakutan terhadap hal-hal asing dan berbeda bisa menjadi pintu masuk bagi sikap diskriminatif yang lebih ekstrem. Ia mencatat bahwa retorika Sanseito sering kali tidak didasarkan pada data konkret, namun tetap efektif karena disampaikan di ruang digital yang anonim dan bebas dari verifikasi.
Di sisi lain, lembaga riset JX Press mencatat bahwa dalam survei pemilih menjelang pemilihan majelis Tokyo, 17 persen responden menyebut isu warga asing dan pariwisata masuk sebagai perhatian utama mereka—lebih tinggi daripada isu pendidikan atau pengasuhan anak. Dari kelompok ini, 19 persen menyatakan akan memilih kandidat dari Sanseito. Hal ini menunjukkan bahwa retorika partai tersebut telah berhasil menempatkan isu imigrasi di posisi sentral dalam perdebatan politik Jepang, sesuatu yang sebelumnya dianggap tidak cukup menarik suara.
Presiden JX Press, Katsuhiro Yoneshige, menyebut bahwa pemilih Jepang mungkin tidak menganggap imigran sebagai ancaman dalam perebutan lapangan kerja seperti di negara-negara Barat. Namun, dalam situasi ekonomi yang sulit, muncul keyakinan bahwa uang pajak seharusnya digunakan untuk kepentingan warga lokal terlebih dahulu. Ia juga mencatat bahwa banyak pendukung lama mantan Perdana Menteri Shinzo Abe yang kini beralih mendukung Sanseito, setelah kehilangan kepercayaan terhadap Partai Demokrat Liberal (LDP) maupun partai oposisi utama.
Saat ini Sanseito telah mengamankan empat kursi di parlemen nasional dan lebih dari 150 kursi di berbagai majelis lokal. Dengan terus berkembangnya dukungan dan penyebaran pesan lewat media digital, mereka tampaknya tidak lagi bisa dianggap sebagai fenomena sesaat. Meskipun masa depan mereka masih belum jelas, keberadaan Sanseito telah mengguncang dinamika politik Jepang dan membuka ruang diskusi baru mengenai representasi, keadilan sosial, dan masa depan masyarakat multikultural.(DIK)