
SAKURAINA, INDONESIA-Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen akan tetap diberlakukan mulai Januari 2025. Hal ini ditegaskan oleh Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Ekonomi Makro dan Keuangan Internasional, Parjiono.
Menurut Parjiono, kebijakan ini dirancang dengan sejumlah pengecualian untuk melindungi daya beli masyarakat, terutama kelompok rentan seperti masyarakat miskin, sektor kesehatan, dan pendidikan.
“Jadi, kita masih dalam proses ke sana, artinya akan berlanjut. Tapi kalau kita lihat dari sisi menjaga daya beli masyarakat, pengecualiannya sudah jelas: masyarakat miskin, kesehatan, pendidikan, dan seterusnya,” kata Parjiono di Jakarta, Selasa, 3 Desember 2024.
Tak hanya itu, lanjut Parjiono, pemerintah juga akan memperkuat subsidi sebagai langkah antisipasi dampak kebijakan ini. Ia menyebut insentif perpajakan saat ini cenderung lebih dinikmati oleh kelas menengah atas.
“Daya beli masyarakat adalah salah satu prioritas, sehingga subsidi akan diperkuat sebagai jaring pengaman. Kalau kita lihat insentif perpajakan, yang lebih banyak menikmati justru kelas menengah atas,” jelasnya.
Sebelumnya, Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Indonesia, Luhut Binsar Pandjaitan, menyatakan bahwa penerapan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen kemungkinan akan ditunda.
Penundaan itu untuk memberikan waktu terkait dengan perhitungan bantuan sosial (bansos) kepada masyarakat yang terdampak.
“Penerapan PPN 12 persen hampir pasti akan diundur, agar program stimulus ini bisa berjalan terlebih dahulu,” kata Luhut saat ditemui di TPS 004, Kelurahan Kuningan Timur, Jakarta Selatan, Rabu, 27 November 2024.
Dijelaskan Luhut, pemerintah saat ini sedang menghitung jumlah bansos yang akan diberikan. Dia menyebut, pemberian bansos diperkirakan berupa subsidi listrik.
Adapun yang berhak mendapatkan bansos ini adalah golongan masyarakat menengah dan bawah.
“PPN 12 persen harus disertai dengan stimulus untuk masyarakat yang ekonominya tertekan, terutama bagi mereka yang mungkin sedang kesulitan. Saat ini perhitungan sedang dilakukan, baik untuk kelas menengah maupun bawah,” ujar Luhut.
Mengenai alasan pemberian bansos dalam bentuk subsidi listrik, bukan berupa bantuan langsung tunai (BLT). Langkah ini diambil untuk menghindari penyalahgunaan bantuan yang bisa terjadi jika diberikan langsung ke masyarakat.
“Jika bantuan diberikan langsung, ada risiko penyalahgunaan. Jadi kami pertimbangkan untuk menyalurkannya melalui subsidi listrik, mungkin dengan batasan penggunaan listrik untuk yang pemakaian 1.300 hingga 1.200 Watt ke bawah. Semua perhitungan ini masih dalam proses,” jelasnya.
Mengenai anggaran untuk bansos ini, Luhut memastikan bahwa anggaran negara melalui APBN mencukupi. Ia mengungkapkan, penerimaan pajak yang baik memungkinkan negara untuk mengalokasikan dana hingga ratusan triliun untuk program ini.
“APBN kita cukup kuat, penerimaan pajak kita juga bagus. Ada ratusan triliun yang bisa digelontorkan untuk mendukung kebijakan ini,” tegas Luhut.
“Namun, yang penting adalah memastikan bantuan ini efisien dan tepat sasaran, sesuai dengan harapan Presiden,” pungkasnya.
Pernyataan Luhut itu ditanggapi oleh Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto yang mengatakan potensi penundaan kenaikan PPN belum dibahas di internal pemerintah.
“Belum, belum dibahas,” kata Airlangga saat ditemui di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis, 28 November 2024.
Begitu juga ketika ditanya apakah akan ada rapat khusus dengan Presiden Prabowo Subianto untuk membahas penundaan kenaikan PPN, Airlangga menyatakan bahwa hingga kini belum ada agenda terkait.
“Belum dibahas,” jawabnya singkat.
Dekopin Minta PPN tidak Dinaikkan
Rencana pemerintah untuk menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen yang semula dijadwalkan berlaku mulai 1 Januari 2025 kemungkinan ditunda.
Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan mengungkapkan bahwa pemerintah saat ini masih membahas skema bantuan sosial bagi masyarakat yang akan terdampak oleh kenaikan tersebut.
Menanggapi itu, Ketua Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin), Sri Untari Bisowarno berpendapat bahwa dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi yang belum membaik, pihaknya mendorong agar kenaikan PPN ditunda terlebih dahulu, atau bahkan dibatalkan, sehingga tetap berada di angka 11 persen.
“Kalau bisa ya tidak jadi turun, itu kami dukung sepenuhnya,” kata Sri Untari kepada media, Minggu, 1 Desember 2024.
Menurut dia, kenaikan PPN akan memberikan dampak signifikan pada berbagai sektor, terutama di tengah kondisi daya beli masyarakat yang saat ini menurun.
“Karena memang secara kondisi objektif di lapangan, kondisi hari ini, daya beli masyarakat sangat turun,” ujarnya.
Salah satu yang dia soroti adalah sektor otomotif. Menurutnya, sektor tersebut berpotensi terkena dampak besar.
Ia menyebut bahwa kenaikan PPN 1 persen bisa membuat harga mobil melonjak antara 5-10 persen, belum lagi ditambah dengan pajak kendaraan yang semakin membebani masyarakat.
“Kami membaca, misal di otomotif saja, kenaikan PPN 1 persen bisa berdampak, kenaikan harga mobil antara 5-10 persen, belum lagi pajak kendaraannya,” papar Sri Untari.
Dengan kondisi tersebut, Sri berharap pemerintah dapat bersikap bijak dengan memperhatikan kondisi ekonomi masyarakat, khususnya di awal pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Dia menekankan perlunya evaluasi kenaikan PPN dilakukan setelah ekonomi benar-benar stabil.
“Yang kita tunggu kondisi ekonomi masyarakat apakah sudah bagus. Setahun pertama pemerintahan Prabowo dievaluasi. Pemerintah harus bijak memahami situasi dan kondisi masyarakat,” sarannya.
Meski begitu, Sri Untari menyatakan, Dekopin tetap mengapresiasi rencana pemerintah menunda kenaikan tarif PPN. Ia menilai kebijakan tersebut akan memberikan ruang bagi masyarakat untuk memulihkan daya beli yang saat ini sedang menurun.
“Kami koperasi Indonesia mengapresiasi rencana mundurnya atau diundurnya kenaikan PPN menjadi 12 persen oleh pemerintah,” ucap Sri Untari.(*)