
SAKURAINA, JAKARTA- Wacana penyatuan regulasi antara penyiaran konvensional dan platform digital kembali mengemuka dalam pembahasan revisi Undang-Undang Penyiaran. Namun, dua pakar multimedia dan hukum media mengingatkan bahwa penyiaran dan platform digital adalah dua entitas yang berbeda secara mendasar—secara teknologi, arsitektur distribusi, hingga tanggung jawab etik dan regulasi.
Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara, Ignatius Haryanto Djoewanto, dan pakar hukum Universitas Padjadjaran, Prof. Ahmad M. Ramli, menyuarakan pandangan itu dalam Rapat Dengar Pendapat Umum Panja RUU Penyiaran Komisi I DPR RI, di Senayan, Jakarta. Keduanya menekankan perlunya pembedaan antara ranah penyiaran dan ekosistem digital, serta pentingnya membuat regulasi sendiri untuk masing-masing.
“Menurut saya, pengaturan soal platform digital membutuhkan undang-undang tersendiri yang berbeda dengan undang-undang penyiaran,” ujar Ignatius Haryanto dalam RDPU Panja RUU Penyiaran, Selasa (15/7/2025).
Ia menegaskan, platform digital memiliki anatomi dan mekanisme kerja yang tidak dapat dipukul rata dengan penyiaran. Jika penyiaran berada dalam kontrol dan kurasi institusi formal, platform digital memberi ruang luas bagi konten berbasis pengguna, dari siapa pun dan untuk siapa pun.
Ranah yang Tak Sama
Seolah menambahkan, di tempat sama seminggu kemudian, Senin (21/7/2025), Prof. Ahmad Ramli menyebut secara hukum dan fungsi, lembaga penyiaran dan platform digital tidak hanya berbeda bentuk, tapi juga “berbeda spesies”. Lembaga penyiaran berada dalam kerangka hukum formal—Undang-Undang Penyiaran, Kode Etik Jurnalistik, hingga Standar Program Siaran. Sebaliknya, platform digital seperti YouTube, TikTok, dan Instagram beroperasi dengan kerangka algoritma, community guidelines, serta distribusi masif berbasis user-generated content (UGC).
“Tidak bisa digeneralisasi. Jika tetap disatukan dalam satu undang-undang, harus ada proporsionalitas yang jelas atas hak dan kewajiban masing-masing pihak,” ujar Ramli.
Ignatius menyebut pengaturan platform digital seharusnya lebih menekankan pada dua aspek: regulasi terhadap perusahaan platform itu sendiri, serta pengelolaan konten yang dihasilkan oleh para kreator. Dalam konteks ini, ia menilai penting untuk mewajibkan pembagian pendapatan platform digital bagi kepentingan nasional, seperti produksi konten budaya lokal.
“Ini demi menyeimbangkan dominasi konten asing dan memberi ruang bagi identitas budaya di wilayah hadirnya platform tersebut,” ujarnya.
Peluang dan Ketimpangan
Dalam kesempatan terpisah itu, kedua pakar menyoroti ketimpangan yang dihadapi industri penyiaran. Di satu sisi, lembaga penyiaran konvensional masih tunduk pada regulasi ketat, tetapi tak mendapatkan playing field yang setara dengan platform digital yang berkembang lebih cepat dan fleksibel.
“Kita mendengar banyak keluhan dari insan penyiaran. Pendapatan iklan menurun, sementara belanja iklan digital meningkat pesat. Konsumsi masyarakat pun beralih ke layar-layar kecil di genggaman,” tutur Ignatius.
Ramli pun menggarisbawahi pentingnya prinsip equal playing field dalam pengaturan lintas platform. Menurutnya, prinsip ini dapat melindungi industri penyiaran dan pers dari tekanan disrupsi digital, tanpa mengekang inovasi di ranah digital.
Namun demikian, menyamakan dua ranah yang berbeda secara karakter dan tujuan hanya akan menimbulkan kerancuan regulasi serta kebijakan yang tidak relevan.
“Lembaga penyiaran itu kuratif, bertanggung jawab atas isi. Sedangkan platform digital lebih reseptif dan terbuka untuk siapa saja. Menyamakannya justru tidak produktif,” ujar Ramli.
Menuju Regulasi Inklusif
Keduanya sepakat bahwa arah regulasi harus berpijak pada kejelasan, proporsionalitas, serta keberanian menghadapi realitas baru. RUU Penyiaran seyogianya tidak sekadar menjadi respons terhadap perubahan zaman, melainkan juga menjadi instrumen kebijakan yang adil, bijak, dan tetap menjamin keberlangsungan industri komunikasi dan informasi nasional.
Bukan hanya lembaga penyiaran swasta atau berbayar yang perlu dilibatkan, melainkan juga penyiaran publik dan komunitas. “Semua harus diberikan ruang untuk didengarkan,” tegas Ignatius.
Regulasi masa depan, ujarnya, bukan soal kontrol semata, tetapi soal keberimbangan antara kebebasan berekspresi, tanggung jawab sosial, dan perlindungan identitas kultural bangsa. Dan untuk itu, tak bisa hanya dengan satu payung hukum yang seragam.(RIH)